Senin, 25 Juni 2012

Makna Sebuah Titipan


Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan
Bahwa mobilku hanya titipan Nya, bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya
Tetapi, mengapa aku tidak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?

Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yg bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh
Nya?

Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah,
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja yang melukiskan bahwa itu adalah derita

Ketika aku berdoa, kuminta titipan yg cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta, lebih banyak mobil, lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan.

Seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku
Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika:
“aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan nikmat dunia kerap menghampiriku

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku” dan
menolak keputusan Nya yang tak sesuai keinginanku,

Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk
beribadah…
“Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja” 



Dalam sekali ya puisi karangan W.S. Rendra ini. Saya menemukan puisi ini saat membaca buku Perempuan Pencari Tuhan karya Rindu. Puisi ini ada di halaman prakata buku tersebut. Begitu mengena, menohok. Jujur saja, selama ini saya sangat posesif dengan apa-apa yang sudah saya miliki. Seolah-olah hanya saya yang paling berhak atas apa yang saya miliki. Suami, anak, harta dll. Padahal, jangankan suami, anak, atau harta kekayaan. Nyawa kita saja bukan milik kita. Juga raga kita ini. Ada saatnya Sang Pemilik yang sebenarnya akan mengambil segalanya, termasuk diri kita. Tinggallah jasad yang tadinya kita bangga-banggakan hanya menjadi seonggok daging yang harus segera dikuburkan. Sungguh, tak ada lagi tempat bernaung. Tak ada lagi tempat berlari. Hanya kepadaMu lah kami semua akan kembali…