Senin, 29 Oktober 2012

Saat keberatan dipanggil "Ibu"

Ada ga yang masih suka keberatan, gak enak ati, gak suka atau malah benci saat kita (para ibu muda atau yang merasa masih muda atau pun para Young single lady atau yang sudah menikah tapi belum jadi ibu-red) di panggil Ibu? Saya yakin pasti ada, wong saya juga sempat merasakan hal yang sama. Saat ada yang menyapa saya dengan panggilan Ibu Anna, atau Ibu Achmad, langsung saya protes. “Duh, emang saya keliatan tua apa dipanggil Ibu? Umur saya kan belum 30. Emang sih udah menikah dan punya anak, tapi saya lebih seneng kalo dipanggil Mbak.” Itu dulu. Lain dulu lain sekarang. Saya berubah pikiran. Apa salahnya dipanggil Ibu? Toh yang menyapa demikian sama sekali tak bermaksud merendahkan kita dengan sebutan Ibu. Malah bisa jadi sang penyapa justru ingin menghormati kita dengan memanggil kita “Ibu”. Bagaimanalah kita akan dihinakan dengan panggilan “Ibu” sementara Allah Sang Pencipta memuliakan kedudukan seorang Ibu. Masih ragukah kita dengan mulianya “Ibu”? Oke, mari kita tilik satu persatu kemuliaan seorang Ibu. Dimanalah letak surga? Saya kira anak TK pun tahu jawabnya. Surga di bawah telapak kaki Ibu. Ibu, bukan ayah. Ibu, bukan Mbak. Di bawah telapak kaki para Ibulah surga bagi anak-anak yang berbakti kepadanya. Semoga kita dapatkan surga dari telapak kaki para Ibunda kita. Semoga kita juga bisa menjadi surga bagi anak-anak kita. Amin. Siapakah yang lebih patut untuk dimualiakan oleh seorang anak? Jawabnya ada dalam sebuah hadits sahih berikut. Dari Abu Hurairah ra, ia menceritakan, suatu hari ada seorang yang datang kepada Nabi Muhammad SAW seraya bertanya: "Wahai Rasulullah, siapa orang yang paling berhak saya perlakukan dengan baik?" Rasulullah menjawab: "Ibumu!" Orang itu bertanya lagi: "Lalu siapa?" "Ibumu!" jawab Beliau. "Lalu siapa lagi, ya Rasulullah?" tanya orang itu. Beliaupun menjawab "Ibumu!" Selanjutnya orang itu bertanya lagi: "Lalu siapa?" Beliau menjawab: "Ayahmu." (Muttafaqun ‘Alaih). Hadits di atas memerintahkan agar kita senantiasa berbuat baik pada kerabat terutama adalah ibu, lalu ayah. Didahulukannya ibu karena ia telah mengandung, menyusui, mendidik dan tugas berat lainnya. "Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya setelah dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu (Q.S. Luqman:14). Karena beratnya tugas orang tua, maka seorang anak diwajibkan untuk memperlakukan mereka dengan baik, bahkan membantahnya dengan kata-kata "Ah" pun tidak diperkenankan. Lalu buat yang masih gadis atau sudah menikah namun belum punya anak, apakah tidak sebaiknya dipanggil Mbak saja? Anggap saja panggilan “Ibu” yang disematkan di depan anma kita adalah suatu doa yang akan benar-benar membawa kita pada kemuliaan seorang Ibu. Artinya buat yang belum menikah pun, saat dipanggil Ibu, berarti sedang didoakan semoga lekas mendapatkan jodoh dan keturunan. Begitu kira-kira. Wallahu a’lam bishhowwab.

Selasa, 23 Oktober 2012

Antara Marah dan Memaafkan

Beberapa waktu lalu di suatu pagi, saya dihadapkan pada suatu situasi yang benar-benar tidak saya sukai. Pagi-pagi setelah bersalaman dengan mesin handkey, saya dipanggil oleh seorang ibu-yang merupakan salah seorang atasan di kantor namun bukan atasan langsung saya. Tanpa sebab yang jelas, saya dipanggil ke ruang kerjanya, diundang untuk sebuah sarapan pagi yang "sangat mengenyangkan". Bagaimana tidak, selama hampir satu setengah jam saya diceramahi tentang banyak hal yang saya rasa tidak sepenuhnya benar-meski tidak sepenuhnya salah-dan menyangkut hal-hal yang menurut saya adalah privasi alias hal yang sifatnya pribadi. Panjang lebar saya diberi wejangan yang menurut saya sangat "nylekit" apalagi diucapkan dengan nada tinggi dan menunjuk-nunjuk. I really hate this, begitu teriak hati saya saat itu. Saya tak diberi kesempatan untuk melakukan semacam hal "pembelaan diri". Kalaupun ada, saya bukanlah tipe orang yang bisa dengan mudah menyela pembicaraan orang tua yang ada di hadapan saya. Alhasil, saya terus diberondong dengan kata-kata si Ibu yang "nancep" di hati saya laksana sebuah paku yang ditancapkan pada sebuah tiang kayu. Meski mencoba menahan emosi, ternyata sepertinya saya "sakit hati" dengan kata-kata yang beliau ucapkan. Malam dan keesokan harinya saya benar-benar sakit karena hal itu. Saya mengelami asma akut yang cukup menyesakkan dada sayakarena terus memikirkan kata kata beliau. Sungguh, saya membuktikan bahwa sakit hati bisa menyebabkan sakit fisik, karena hatilah komponen utama yang mengendalikan raga. Hati, akal dan raga. Itulah dimensi kita sebagai manusia. Hati saya sakit, lalu saya berpikir bahwa badan saya juga sakit.And I am what i am thinking, so then i got the sickness. Ya, saya memang tipe pemikir yang tidak bisa dengan begitu saja cuek bebek dengan kata-kata orang lain yang ditujukan pada saya. Kembali pada paku-paku yang menancap pada tiang kayu. Saat ini sayalah yang sedang menjadi tiang kayu. Rasa sakit karena paku-paku yang menancap itu, membuat saya kemudian berpikir bagaimana agar paku-paku itu lepas dari saya. Saya pikir tak ada gunanya membiarkan paku-paku itu terus menancap pada diri saya. Saat ini saya sedang melepaskan paku-paku itu dengan cara yang paling mudah sekaligus berat bagi orang yang sedang dilanda kesal seperti saya. Cara yang saya maksud tak lain dan tak bukan adalah M E M A A F K A N. Dengan memaafkan, saya mencoba melepaskan diri dari paku-paku yang tidak saya inginkan itu. Subhanallah, hasilnya sangat jitu. Subhanallah, laksana alat pencabut paku yang hebat, satu per satu bahkan semua paku itu lepas dari tiang kayu. Tapi ada satu masalah yang belum terselesaikan. Tahukan Anda apa itu? Meski seluruh paku tercabut, namun ternyata bekas tancapan paku-paku itu menyisakan lubang-lubang yang mengurangi keindahan tiang kayu itu. Mungkin bisa saya analogikan begini. Kelihatannya, si Ibu yang sudah bercasciscus marah tadi telah lupa dengan kemarahannya pada saya.Terlihat beliau bisa tersenyum dan ngobrol seperti biasa dengan saya. Saya pun telah memaafkannya. Okelah, beliau memang tak marah lagi pada saya, tapi apa yang terjadi pada saya? Memang saya telah memaafkannya, toh itu terjadi karena kehendak Allah dan sudah berlalu. Tapi saya berusaha menghindar jika harus bertemu dengan beliau. Tarauma? Mungkin. Siapalah saya, hanya manuasia biasa. Lalu tiba-tiba saya teringat dengan sahabat Nabiyang dijamin masuk surga karena setiap malam sebelum tidur beliau selalu memaafkan dan mengikhlaskanorang-orang yang telah menyakitinya sepanjang hari itu. Sepertinya sepele ya. Ternyata bukan perkara mudah ketika kita dihadapkan pada situasi yang mengharuskan kita mempraktekkan kebiasaan sahabat tersebut. Itu saja ya, semoga bermanfaat. Mari intrsopeksi diri, pikir-pikir sebelum marah dan berusahalah sekuat hati untuk memaafkan orang yang telah mendzalimi kita. Ikhlas, sabar, dan ridho lah atas segala ketentuanNya (ya Allah, berat banget rasanya...maaf cuma bisa omdo). Semoga kita bisa membersamai sahabat Nabi yang mulia yang saya ceritakan tadi. Amin. Wallahu a'lam bishowwab.

Senin, 01 Oktober 2012

Aku dan Al Quran

Duh, lagi kerja tapi pikiran malah melompat ingin menulis. Daripada lupa, mending dicicil nulisnya, mengikat makana yang berserak. Mudah-mudahan ada manfaatnya. Kemarin, tanggal 11 Ramadhan, saya mengkhatamkan Al Quran untuk pertama kalinya di bulan Romadhon ini. Entah kenapa saat saya membaca doa khatam Al Quran yang ada di bagian belakang mushaf, ada gerimis yang menyejukkan membasahai hati ini. Tiba-tiba saya merasa bahwa Qur’anlah sebenar-benar penolong bagi saya. Quranlah satu-satunya yang akan menyelamatkan saya di hari ketika tak ada lagi yang mampu menjadi penyelamat. Quran lah yang akan menemani dan menerangi saya di dalam pekatnya alam kubur saya nanti. Quran lah yang akan selalu memberi putunjuk kea rah jalan yang benar dalam setiap langkah kehidupan saya. Tapi apa yang telah saya perbuat dengan Al Quran?Membaca hanya sedikit saja rasanya mata sudah sepet. Padahal saya betah berjam-jam memelototi laptop atau computer untuk berinternet ria. Mentadabburi? Tidak juga. Hanya saat mendengar pengajian atau membaca artikel Islami saya sedikit mentadabburinya. Menghafal apalagi. Saya menghafal hanya karena saya wajib menyetorkan hafalan saya di akhir pekan. Itupun sangat sedikit dang ga nambah-nambah. Dengan segala keterbatasan kemampuan, kemalasan dan banyak lagi hal lainnya, saat ini saya ingin anak-anak saya menjadi hafidz/hafidhoh atau penghapal Al Quran. Siapalah saya ini, entah harta atau keahlian apa yang dapat saya berikan kepada anak-anak saya sebagai bekal hidupnya nanti. Saya bukan ibu yang full of skill dengan keterampilan wanita. Saya juga sangat terbatas ilmunya, baru sampai D3. Harta hanya sedikit dibanding kebutuhan anak-anak nanti di masa depan. Oleh karenanya, saya ingin membekali mereka dengan Al Quran. Kenapa harus Al Quran? Ya, harus. Quran itu kan firman Allah, sang Maha Pencipta, sang Maha Berkehendak, sang Maha Sempurna. Saya yakin jika dengan menghafal Alquran, maka hati, jiwa dan raga kita akan selalu connect dengan Allah. Bayangkan jika seorang pelayan selalu connect dengan Tuang yang dilayaninya. Pastilah sang pelayan akan selalu berhati-hati dalam mengerjakan tugasnya karena selalu merasa diawasi. Pastilah dia akan selalu melakukan yang terbaik bagi yang ia layani. Sang Tuan pun pasti akan suka dengan sang pelayan karena ia selalu taat pada perintahnya. Dan hasilnya, tentu saja bila sang pelayan meminta sesuatu, pastilah Sang Tuan tak berkeberatan memberikannya. Gaji, THR, Tunjangan Kesehatan dan segala insentif lainnya akan menjadi haknya. Ini baru connect dengan manusia lho ya...Coba bayangkan kalau kita selalu connect dengan Sang Maha Pencipta. Jika kita selalu connect dengan Sang Maha Kuasa, tentu saja segala urusan akan dipermudah olehnya. Doa-doa diijabah, kesulitan dimudahkan, kesempitan dilapangkan, dan yang pasti kita akan merasakan ketenangan. Yang lain ngumpat karena macet ditengah panas terik, kita adem ayem aja dan jalan dikasih lancar. Yang lain rejekinya seret, kita akan selalu diberikan jalan keluar dari arah yang tidak disangka-sangka, bahakan dengan gaji bulanan kita yang pas-pasan untuk mencicil ini dan itu. Lalu apa ya hubungannya semua ini dengan Al Quran? Hubungannya baik-baik saja. Eh, maksud saya sangat erat. Ya, sangat erat hubungannya antara Al Quran dengan kemudahan hidup kita. Siapa yang tak tahu Al Quran, saya yakin semua tahu, kitab suci umat Islam. Kitab suci lho ya, gak main-main. La yamassuhu illal muthoharun, dan tidaklah diperbolehkan untuk menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Kitab suci itu bukan buku atau kitab sembarangan. Kitab suci Al Quran juga bukan hasil karangan seseorang, termasuk Nabi Muhammad. Al Quran sesungguhnya adalah firman Allah. Artinya semua isi Al Quran adalah kata-kata Allah, bukan kata-kata manusia. Firman Allah adalah aturan hidup kita, sumber dari segala sumber hukum. Tiada yang luput darinya. Dengan begitu jelas Allah menerangkan segala hukumnya di dalam Al Quran. Al Quranlah petunjuk hidup kita. Bagaimana seharusnya kita hidup, Al Quran memiliki jawabannya. Bagaimana kehidupan orang-orang terdahulu, Al Quran juga memuatnya, baik orang-orang yang diberi petunjuk maupun orang-orang yang tergelincir. Bahkan kehidupan masa depan kita di akhirat pun sudah Allah gambarkan dalam AL Quran. Kenapa bisa ya? Kenapa tidak. Lha wong yang mengucapkan adalah Yang Maha Pencipta, Yang Maha Mengetahui, Yang Maha Hidup, Yang tak pernah tidur, yang selalu tahu apa yang dilakukan makhluknya, pasti saja Allah tahu Maha Tahu segalanya. Dari zaman manusia pertama-Nabi Adam hingga hari kiamat, Allah tahu segalanya. Perlahan dan tertatih saya mulai memperbaiki hubungan saya dengan Al Quran. Begin from zero, kumulai lagi memperbaiki bacaan Al Quran saya dengan mengikuti les tahsin tahfidz Al Quran dua minggu sekali dengan memanggil seorang ustadzah ke kantor. Meski kadang pekerjaan sangat menyibukkan, saya memastikan diri untuk hadir dalam majelis ilmu tersebut, walaupun tidak bisa on time karena saya ditugaskan di loket surat yang tak pernah sepi. Meski hanya segelintir orang yang mengikuti majelis ini, saya berusaha menjaga semangat saya dalam memperbaiki bacaan Al Quran dan juga menghafal ayat demi ayat Al Quran. Sungguh terkadang terasa begitu sulit menghafalkan ayat-ayat Allah karena dunia yang begitu melenakan. Tapi saya yakin, Allah yang memberi jaminan memelihara Al Quran hingga akhir zaman, maka Allah pulalah yang akan memberikan kemudahan bagi hamba-hambaNya yang ingin menghafal firmanNya. Ya Allah, saat ini saya berazzam akan terus memelihara semangat ini hingga waktunya tiba, hingga tak mungkin lagi bagi lidah dan pita suara ini melafadzkan namaNya karena tercekat oleh ruh yang sedang dicerabut dari raga. Ya Allah, kami ingin menjadi keluargamu, yang menyerukan firmanMu, yang dekat kepadamu. Mohon jaga semangat ini ya Allah, jangan buat dunia ini menjadi tujuan kami, karena sesungguhnya hanya kepadaMulah kami kembali. Ya Allah, karunikanlah kasih sayang-Mu dengan Al Qur’an. Jadikan Al Qur’an sebagai imam, cahaya, hidayah, dan sumber rahmat (bagi hamba). Ya Allah, ingatkan bila ada ayat yang hamba lupa mengingatnya. Ajarkan bila ada ayat yang hamba bodoh memahaminya. Karuniakan pada hamba kenikmatan membacanya, sepanjang waktu, baik tengah malam atau tengah hari. Jadikan Al Qur’an bagi hamba sebagai hujjah, ya Rabbal ‘Alamin. Ya Allah, karunikan hamba kebaikan dalam beragama, yang merupakan kunci kehormatan bagi hamba. Karuniakan hamba kebaikan di dunia, yang merupakan tempat hamba menjalani hidup. Karuniakan hamba kebaikan di akhirat, yang merupakan tempat hamba kembali. Jadikan kehidupan hamba senantiasa lebih baik. Jadikan kematian sebagai kebebasan hamba dari segala keburukan. Ya Allah, jadikan umur terbaik hamba di penghujungnya, jadikan amal terbaik hamba di penutupnya, jadikan hari-hari terbaik hamba saat bertemu dengan-Mu. Ya Allah, hamba memohon kepadamu kehidupan yang jembar, kematian yang normal, dan tempat kembali yang tidak menyedihkan dan terhindar dari prahara. Ya Allah, hamba memohon kepada-Mu permintaan terbaik, doa terbaik, kesuksesan terbaik, ilmu terbaik, amal terbaik, pahala terbaik, kehidupan terbaik, kematian terbaik. Kuatkanlah hamba, beratkanlah timbangan kebajikan hamba, realisasikan keimanan hamba, tinggikan derajat hamba, terima shalat hamba, ampuni dosa-dosa hamba, dan hamba memohon surga tertinggi.