Selasa, 30 Juli 2013

Buat saya, menulis itu…

Mengikat ilmu. Ya, dengan menulis saya mencoba mengikat ilmu. Ada hikmah, pengetahuan, pengalaman, perasaan dan segala macamnya yang saya ikat dengan menulis. Ingatan saya sangat terbatas. Maka saya mencoba untuk mengikat atau endokumentasikannya dengan menulis. Dengan menulis, saya lebih mudah mengingat, tentu saja apa-apa yang saya tulis. Dan jika pun saya suatu saat lupa, saya akan kembali membaca tulisan itu untuk mengingatnya.

Berbagi. Dengan menulis, saya mencoba berbagi apa yang saya miliki. Hikmah, pengetahuan, pengalaman, perasaan dan apa saja mencoba saya bagi dengan yang mau membaca tulisan saya. Harapannya pa yang saya tulis mampu memberikan manfaat. Dan jikapun itu sesuatu yang kurang baik, misal pengalaman yang kurang menyenangkan, maka sebisa mungkin itu tak perlu terjadi pada pembaca. Atau jika pun pengalaman saya sama dengan pembaca, maka disana pembaca akan merasa lebih tenang, karena ternyata ada orang yang senasib dengan dirinya J

Menghibur. Menulis tentu saja sangat menghibur. Ada tumpahan perasaan yang hendak meluap atau bahkan meledak jika saya hanya saya pendam sendiri. Maka aku pun memilih menulis untuk mengalihkan emosi saya, meskipun apa yang saya tulis kadang bukan apa yang sedang membuat saya galau dan sedih. Melarutkan diri dalam menulis mampu membuat saya melupakan kegalauan dan menetralkan emosi negatif saya hingga akhirya saya memilih untuk berpikir positif. Bahkan ada kalanya saya menulis sambil senyum-senyum sendiri karena mengingat kejadian-kejadian yang lucu.

Menyelam. Saya sih belum pernah menyelam ke dasar lautan. Tapi dengan dengan menulis saya mencoba untuk menyelami diri saya sendiri. Saya menyelam, jauh ke dasar hati, mencari mutiara hikmah yang ada di dalamnya. Saya menyelam jauh ke alam pikir saya, mengais ingatan dan kenangan akan apa yang telah saya jalani dan alami selama ini dan juga menyelami keinginan di masa depan. Menulis itu menyelam dan menenggelamkan tapi bersifat sangat positif buat saya. Karena saat berpikir tangan pun bekerja untuk merangkai huruf dan kata, menuntut koordinasi antara otak, hati, indra penglihatan, dan jari-jemari.


Itulah sekelumit opini tentang menulis bagi saya. Semoga bisa diambil manfaatnya. 

Buat saya, menulis itu…

Mengikat ilmu. Ya, dengan menulis saya mencoba mengikat ilmu. Ada hikmah, pengetahuan, pengalaman, perasaan dan segala macamnya yang saya ikat dengan menulis. Ingatan saya sangat terbatas. Maka saya mencoba untuk mengikat atau endokumentasikannya dengan menulis. Dengan menulis, saya lebih mudah mengingat, tentu saja apa-apa yang saya tulis. Dan jika pun saya suatu saat lupa, saya akan kembali membaca tulisan itu untuk mengingatnya.

Berbagi. Dengan menulis, saya mencoba berbagi apa yang saya miliki. Hikmah, pengetahuan, pengalaman, perasaan dan apa saja mencoba saya bagi dengan yang mau membaca tulisan saya. Harapannya pa yang saya tulis mampu memberikan manfaat. Dan jikapun itu sesuatu yang kurang baik, misal pengalaman yang kurang menyenangkan, maka sebisa mungkin itu tak perlu terjadi pada pembaca. Atau jika pun pengalaman saya sama dengan pembaca, maka disana pembaca akan merasa lebih tenang, karena ternyata ada orang yang senasib dengan dirinya J

Menghibur. Menulis tentu saja sangat menghibur. Ada tumpahan perasaan yang hendak meluap atau bahkan meledak jika saya hanya saya pendam sendiri. Maka aku pun memilih menulis untuk mengalihkan emosi saya, meskipun apa yang saya tulis kadang bukan apa yang sedang membuat saya galau dan sedih. Melarutkan diri dalam menulis mampu membuat saya melupakan kegalauan dan menetralkan emosi negatif saya hingga akhirya saya memilih untuk berpikir positif. Bahkan ada kalanya saya menulis sambil senyum-senyum sendiri karena mengingat kejadian-kejadian yang lucu.

Menyelam. Saya sih belum pernah menyelam ke dasar lautan. Tapi dengan dengan menulis saya mencoba untuk menyelami diri saya sendiri. Saya menyelam, jauh ke dasar hati, mencari mutiara hikmah yang ada di dalamnya. Saya menyelam jauh ke alam pikir saya, mengais ingatan dan kenangan akan apa yang telah saya jalani dan alami selama ini dan juga menyelami keinginan di masa depan. Menulis itu menyelam dan menenggelamkan tapi bersifat sangat positif buat saya. Karena saat berpikir tangan pun bekerja untuk merangkai huruf dan kata, menuntut koordinasi antara otak, hati, indra penglihatan, dan jari-jemari.


Itulah sekelumit opini tentang menulis bagi saya. Semoga bisa diambil manfaatnya. 

Buat saya, menulis itu…

Mengikat ilmu. Ya, dengan menulis saya mencoba mengikat ilmu. Ada hikmah, pengetahuan, pengalaman, perasaan dan segala macamnya yang saya ikat dengan menulis. Ingatan saya sangat terbatas. Maka saya mencoba untuk mengikat atau endokumentasikannya dengan menulis. Dengan menulis, saya lebih mudah mengingat, tentu saja apa-apa yang saya tulis. Dan jika pun saya suatu saat lupa, saya akan kembali membaca tulisan itu untuk mengingatnya.

Berbagi. Dengan menulis, saya mencoba berbagi apa yang saya miliki. Hikmah, pengetahuan, pengalaman, perasaan dan apa saja mencoba saya bagi dengan yang mau membaca tulisan saya. Harapannya apa yang saya tulis mampu memberikan manfaat. Dan jikapun itu sesuatu yang kurang baik, misal pengalaman yang kurang menyenangkan, maka sebisa mungkin itu tak perlu terjadi pada pembaca. Atau jika pun pengalaman saya sama dengan pembaca, maka disana pembaca akan merasa lebih tenang, karena ternyata ada orang yang senasib dengan dirinya. 

Menghibur. Menulis tentu saja sangat menghibur. Ada tumpahan perasaan yang hendak meluap atau bahkan meledak jika saya hanya saya pendam sendiri. Maka aku pun memilih menulis untuk mengalihkan emosi saya, meskipun apa yang saya tulis kadang bukan apa yang sedang membuat saya galau dan sedih. Melarutkan diri dalam menulis mampu membuat saya melupakan kegalauan dan menetralkan emosi negatif saya hingga akhirya saya memilih untuk berpikir positif. Bahkan ada kalanya saya menulis sambil senyum-senyum sendiri karena mengingat kejadian-kejadian yang lucu.

Menyelam. Saya sih belum pernah menyelam ke dasar lautan. Tapi dengan dengan menulis saya mencoba untuk menyelami diri saya sendiri. Saya menyelam, jauh ke dasar hati, mencari mutiara hikmah yang ada di dalamnya. Saya menyelam jauh ke alam pikir saya, mengais ingatan dan kenangan akan apa yang telah saya jalani dan alami selama ini dan juga menyelami keinginan di masa depan. Menulis itu menyelam dan menenggelamkan tapi bersifat sangat positif buat saya. Karena saat berpikir tangan pun bekerja untuk merangkai huruf dan kata, menuntut koordinasi antara otak, hati, indra penglihatan, dan jari-jemari.

Mencerahkan. Mendung yang menyelimuti hati lambat laun berubah menjadi cerah, sesaat setelah menulis. Selain itu, meski saya bukan seorang pakar, saya berharap apa yang saya tulis juga bisa menjadi sarana pencerahan. Bukan tak mungkin ada yang sedang kalut, galau, atau mengalami masalah, lalu sengaja atau tidak, membaca tulisan saya, atau siapapun, dan tetiba mendapatkan pencerahan dan solusi sehingga kegalauannya pun berangsur-angsur berkurang. 

Terapi. Bagi saya menulis adalah salah satu pengobatan. Penyakit yang menyerang manusia, menurut yang saya tahu sejatinya tidak berdiri sendiri dan datang dengan tiba-tiba. Ia datang dalam beberapa dimensi manusia, karena sejatinya manusia adalah makhluk multidimensi. Seperti penyakit yang tak melulu disebabkan oleh virus, bakteri atau makhluk lainnya yang tak kasat mata, pengobatannya pun tak hanya melulu dengan obat kimia. Menulis bagi saya adalah salah satu bentuk terapi untuk mengobati penyakit. Kok bisa? Lha iya, karena menulis itu mengungkapkan rasa, membuka sumbatan emoai jiqa, sehingga jiwa pun terasa bebas, dan sehat. Jika jiwa sehat, badan pun sehat juga kan? Bi idznillah tentunya.. Meski ini tak berarti segala penyakit bisa sembuh dengan menulis, karena tak satu pun nash menyebutnya. Tetap harus ada upaya lain yang harus kita mamsimalkan tentunya untuk mendapat kesembuhan seperti sedia kala. 

Itulah sekelumit opini tentang menulis bagi saya. Mungkin sama mungkin tidak bagi yang lainnya. 

Semoga bisa diambil manfaatnya, dan.. 

Mari Menulis... 

Senin, 01 Juli 2013

I Hate Monday Syndrome

Jika Anda adalah seorang commuter yang tinggal si sekitar Ibu Kota, tentu tak asing lagi ya dengan istilah itu. Hiruk pikuk suasana Ibu Kota, terutama di hari-hari kerja memang menyisakan kepenatan tersendiri. Grubag-grubug di pagi hari menyiapkan keperluan diri, suami, atau pun seisi rumah. Lalu dilanjutkan dengan mengejar mode transportasi seperti dengan segala keunikannya, seperti kereta nan cepat namun begitu sesak berdesakan, bis yang lumayan lega namun harus berangkat pagi buta, atau bis nan sarat penumpang dengan macetnya jalanan yang bukan kepalang. Tiba di kantor, bertemu dengan meja yang dipenuhi pekerjaan-pekerjaan dengan deadline yang mengejar. Belum lagi konlik dengan teman ataupun atasan. Pulangnya kembali berkompetisi mendapatkan secuil ruang di gerbong-gerbong kereta, bis kota, jemputan dan yang lainnya. Sampai dirumah tinggallah penat yang tersisa. Begitu terus setiap hari kerja. Senin. Selasa. Rabu. Kamis. Jumat. Oh, penatnya.

Sabtu, Minggu. Akhir pekan pun datang. Yiha…ini waktu paling ditunggu. Ini waktunya bangun siang, mandi siang (ga mandi bila perlu), berlehahalah pokoknya. Dilanjutkan dengan acara keluarga baik di dalam maupun di luar rumah. Ya nyuci, ya beres-rumah, ya ngurus anak, istri atau suami, tak ketinggalan “ngemall” lah, jalan-jalan, makan-makan, kondangan, dan sederet agenda lainnya. Hingga tak terasa, weekend pun begitu cepat berlalu. Dua hari terasa secepat kilat. Bahkan terkadang terasa2x24 jam di hari Sabtu-Minggu itu masih kurang, karena begitu banyak hal yang ingin kita lakukan. Tak jarang aktivitas kita di akhir pekan justru berlangsung hingga larut malam, atau bahkan dini hari. Alih-alih mau “nyantai” malah kecapean. Dan ketika senin datang menjelang tibalah si I hate Monday syndrome itu dengan segudang alasan.
“Udah hari Senin aja yak. Yach, kerja lagi deh. Sebellllll, kena macet lagi deh.”
“Hm..udah waktunya ngantor lagi. Waktu liburan telah berakhir.”
“Balik ngantor, ninggalin anak lagi dech.”
“Kenapa sih mesti hari Senin lagi? Ga suka banget apel pagi di jemur di lapangan. Kaya anak sekolah aja.”
Itu adalah beberapa keluhan yang sering terlontar dari diri kita. Betapa kita tak menyadari, ketika Senin tiba, itu artinya kita masih diberi waktu, nafas, detak jantung, dan aliran darah. Ketika Senin tiba, itu artinya kita masih diberi kesempatan untuk melihat terbitnya sang surya. Ketika Senin tiba, itu artinya kita masih bisa menatap wajah orang-orang yang kita sayangi. Ketika Senin tiba, itu artinya kita masih diberi rezeki yang harus kita cari. Ketika Senin tiba, artinya kita masih diberi usia untuk bersujud padaNya. Ketika Senin tiba, itu artinya kita masih begitu disayang olehNya.

Entah berapa jumlah orang disana setelah liburan di waktu weekend, Senin tak pernah lagi menyapanya. Bahkan Rasul pun Allah lahirkan dan wafatkan pada hari Senin. Senin, adalah hari yang mulia, hari saat malaikat berganti jadwal menjaga kita dan membawa amalan-amalan kita di dunia ke langit di atas sana. Bahkan Nabi menganjurkan kita berpuasa pada hari Senin dan Kamis agar saat amalan-amalan itu kita angkat, kita sedang dalam keadaan berpuasa, bukan dalam keadaan bermaksian padaNya. Sungguh betapa tak bersyukurnya kita jika kita membencinya. Mari perbaiki paradigma kita, dan katakanlah “I love Monday.” 

Di Atas Langit Masih Ada Langit

Menurut kalian, apa orang yang pendidikannya lebih tinggi pasti lebih
pintar dari orang yang pendidikannya lebih rendah? Belum tentu loh ya.
Itu sangat tergantung dari mana kita menilainya. Kenapa? Sebab pada
dasarnya kepintaran orang di dunia ini sudah ada spesifikasinya
masing-masing, sudah ada spesialisasinya masing-masing.

Saya hanya seorang lulusan D3, tapi belum tentu saya lebih pintar dari
orang yang sekolahnya tidak sampai perguruan tinggi, atau malah tidak
lebih pintar dari orang yang tidak sekolah sama sekali. Ndak percaya
ya? Percaya donk. Ini beneran koq. Tadi sewaktu saya dan suami pulang
dari Lapangan Banteng, ban motor kami bocor. Padahal hanya sekitar dua
kilometer lagi kami sampai di rumah. Saat itu sudah masuk waktu sholat
maghrib. Kami memutuskan untuk singgah di sebuah musholla di pinggir
jalan untuk ikut sholat maghrib berjamaah. Usai sholat, kami segera
menuju ke sebuah bengkel yang letaknya tepat di seberang musholla
tempat kami sholat. Tak lain dan tak bukan adalah untuk menambal ban
belakang motor kami.

Sampai di bengkel, seorang karyawan bengkel menyambut kami. Dengan
segera ia mengambil kunci obeng, membongkar ban belakang motor kami.
"Tadi udah tahu kempes masih dinaikin terus ya?" Tanyanya pada
suamiku. "Ɣªª, emang kenapa mas? Tanya suamiku. "Lengket."Jawabnya.
Tak berapa lama ia berhasil mencongkel ban dalam motor kami yang
ternyata "sudah sangat buruk rupa" hingga sobek lebih dari satu senti.
Entah kenapa. "Ini ban dalamnya jelek karetnya." kata si tukang tambal
itu. Tak berapa lama datanglah temannya membantu. Jika tukang tambal
ban yang pertama itu sudah cukup canggih membongkar ban dalam, namun
belum sampe lepas, maka si tukang tambal ban ini jauh lebih terampil
dan cekatan. Kulihat beberapa kali ia mengambil obeng untuk membuka
satu per satu sekrup di tengah roda. Setelah mengendorkannya, ia
segera melepas ban dalam yang sudah robek tadi, langsung dilanjutkan
memasang ban dalam yang baru. Tak sampai sepuluh menit ban dalam yang
baru terpasang sebagaimana mestinya. Tentu saja tak lupa ia memastikan
bahwa tak ada benda tajam di sekeliling sisi dalam ban luar  yang akan
membuat ban bocor lagi. Ia melakukannya sambil memutar roda. Lalu ia
kencangkan lagi sekrup-sekrup yang tadi dikendorkan. Diambilnya minyak
pelumas, untuk melumasi rantai. Lalu ia isi ban yang sudah terpasang
rapi tadi dengan angin dari radiator. Syutt..syutt..syutt..ia juga
sambil mengecek kekerasan ban agar pas. Tak sampai sepuluh menit,
selesailah semua rangkaian acara menambal ban kali ini.

Tuh kan pinter banget deh si abang tukang tambal ban ini. Rasanya kalo
saya tebak, si abang sekolahnya gak sampai ke tingkat perguruan tinggi
deh (gak tau pastinya, namanya juga nebak, kalo salah ya maap). Tapi
coba liat kepiawaiannya dalam menambal ban? Jelas lah kita-kita ini,
yang ngakunya udah pernah makan bangku kuliah, sarjana, s1 bahkan s3
pasti lah belum tentu bisa menambal ban secekatan si tukang tambal ban
tadi. Belum pernah deh saya temui orang yang ban sepeda, motor, atau
mobilnya yang bocor ditambal sendiri di lokasi kejadian:) Biar pun
sarjana, kan bukan sarjana tambal ban kan ya? Duh, untuk urusan tambal
ban aja kita tak lebih tahu dari yang sekolahnya tak setinggi kita,
apa lagi urusan yang lain. Di dunia ini kan tak ada orang yang
sempurna kepintarannya.

Dengan adanya "multiple intelegence", seseorang mungkin ahli di suatu
kepintaran, tapi kurang pada suatu kepintaran yang lain. Itu sudah
sunnatullah. Manusia adalah makhluk paling sempurna, tapi tak ada
manusia yang benar-benar sempurna. Yakinlah itu. Jangan pernah merasa
jauh lebih pintar dari yang lainnya. Biarpun diadakan kontes multi
kecerdasan tingkat dunia dan Anda adalah  seorang yang keluar sebagai
pemenangnya, yakinlah, di atas langit masih ada langit. Itu saja.

Cinta Harus Memiliki

Untuk urusan cinta antar dua insan berlainan jenis yang sudah dewasa,
aku sangat tak setuju dengan ungkapan cinta tak harus memiliki.
Bagaimanalah punya kesadaran untuk merawat dan menjaga, jika kita tak
memiliki apa yang kita cintai. Apalah hak dan kewajibannya jika kita
bukan "pemiliknya",hanya mengaku-ngaku saja. Rasa saling memiliki
adalah modal untuk saling menjaga. Dan jalan untuk menuju kesana bukan
lah dengan saling menggombal menyatakan cinta, namun dengan melakukan
perrjanjian berat pada Yang Maha Memiliki. Menikah. Sungguh cinta
teramat berat konsekuensinya di hadapanNya. Mencintai, menikah,
menghindar dari neraka, mengajak kepada surga, bukan sekedar kata
sia-sia belaka. Begitu kira-kira.

Aroma Ramadhan

Aroma Ramadhan semakin semerbak mendekat
Kurindukan hadirnya sbagai pelepas dahaga jiwa
Nan lelah mengejar dunia
Kurindukan datangnya tuk sejukkan hati nan sombong dan penuh dengki
Kurindukan ia dengan segala asa yang ada
Moga Ramadhan ini mampu kuiisi dengan hal-hal yang Kau ridhoi
Moga Ramadhan ini tak sia-sia kulalui

Ramadhanku, ramadhanmu
Mari sambut ia dengan segenap suka cita
Moga  اللَّه berkenan turunkan rahmat dan ampunaNya dan bebaskan kita
dari bara api neraka
Moga kelak kita kembali pada fitrah kita dan raih kemenangan sejati
seorang hamba