Selasa, 23 Oktober 2012

Antara Marah dan Memaafkan

Beberapa waktu lalu di suatu pagi, saya dihadapkan pada suatu situasi yang benar-benar tidak saya sukai. Pagi-pagi setelah bersalaman dengan mesin handkey, saya dipanggil oleh seorang ibu-yang merupakan salah seorang atasan di kantor namun bukan atasan langsung saya. Tanpa sebab yang jelas, saya dipanggil ke ruang kerjanya, diundang untuk sebuah sarapan pagi yang "sangat mengenyangkan". Bagaimana tidak, selama hampir satu setengah jam saya diceramahi tentang banyak hal yang saya rasa tidak sepenuhnya benar-meski tidak sepenuhnya salah-dan menyangkut hal-hal yang menurut saya adalah privasi alias hal yang sifatnya pribadi. Panjang lebar saya diberi wejangan yang menurut saya sangat "nylekit" apalagi diucapkan dengan nada tinggi dan menunjuk-nunjuk. I really hate this, begitu teriak hati saya saat itu. Saya tak diberi kesempatan untuk melakukan semacam hal "pembelaan diri". Kalaupun ada, saya bukanlah tipe orang yang bisa dengan mudah menyela pembicaraan orang tua yang ada di hadapan saya. Alhasil, saya terus diberondong dengan kata-kata si Ibu yang "nancep" di hati saya laksana sebuah paku yang ditancapkan pada sebuah tiang kayu. Meski mencoba menahan emosi, ternyata sepertinya saya "sakit hati" dengan kata-kata yang beliau ucapkan. Malam dan keesokan harinya saya benar-benar sakit karena hal itu. Saya mengelami asma akut yang cukup menyesakkan dada sayakarena terus memikirkan kata kata beliau. Sungguh, saya membuktikan bahwa sakit hati bisa menyebabkan sakit fisik, karena hatilah komponen utama yang mengendalikan raga. Hati, akal dan raga. Itulah dimensi kita sebagai manusia. Hati saya sakit, lalu saya berpikir bahwa badan saya juga sakit.And I am what i am thinking, so then i got the sickness. Ya, saya memang tipe pemikir yang tidak bisa dengan begitu saja cuek bebek dengan kata-kata orang lain yang ditujukan pada saya. Kembali pada paku-paku yang menancap pada tiang kayu. Saat ini sayalah yang sedang menjadi tiang kayu. Rasa sakit karena paku-paku yang menancap itu, membuat saya kemudian berpikir bagaimana agar paku-paku itu lepas dari saya. Saya pikir tak ada gunanya membiarkan paku-paku itu terus menancap pada diri saya. Saat ini saya sedang melepaskan paku-paku itu dengan cara yang paling mudah sekaligus berat bagi orang yang sedang dilanda kesal seperti saya. Cara yang saya maksud tak lain dan tak bukan adalah M E M A A F K A N. Dengan memaafkan, saya mencoba melepaskan diri dari paku-paku yang tidak saya inginkan itu. Subhanallah, hasilnya sangat jitu. Subhanallah, laksana alat pencabut paku yang hebat, satu per satu bahkan semua paku itu lepas dari tiang kayu. Tapi ada satu masalah yang belum terselesaikan. Tahukan Anda apa itu? Meski seluruh paku tercabut, namun ternyata bekas tancapan paku-paku itu menyisakan lubang-lubang yang mengurangi keindahan tiang kayu itu. Mungkin bisa saya analogikan begini. Kelihatannya, si Ibu yang sudah bercasciscus marah tadi telah lupa dengan kemarahannya pada saya.Terlihat beliau bisa tersenyum dan ngobrol seperti biasa dengan saya. Saya pun telah memaafkannya. Okelah, beliau memang tak marah lagi pada saya, tapi apa yang terjadi pada saya? Memang saya telah memaafkannya, toh itu terjadi karena kehendak Allah dan sudah berlalu. Tapi saya berusaha menghindar jika harus bertemu dengan beliau. Tarauma? Mungkin. Siapalah saya, hanya manuasia biasa. Lalu tiba-tiba saya teringat dengan sahabat Nabiyang dijamin masuk surga karena setiap malam sebelum tidur beliau selalu memaafkan dan mengikhlaskanorang-orang yang telah menyakitinya sepanjang hari itu. Sepertinya sepele ya. Ternyata bukan perkara mudah ketika kita dihadapkan pada situasi yang mengharuskan kita mempraktekkan kebiasaan sahabat tersebut. Itu saja ya, semoga bermanfaat. Mari intrsopeksi diri, pikir-pikir sebelum marah dan berusahalah sekuat hati untuk memaafkan orang yang telah mendzalimi kita. Ikhlas, sabar, dan ridho lah atas segala ketentuanNya (ya Allah, berat banget rasanya...maaf cuma bisa omdo). Semoga kita bisa membersamai sahabat Nabi yang mulia yang saya ceritakan tadi. Amin. Wallahu a'lam bishowwab.