Minggu, 10 Juni 2012

Anak-Sang Komentator dan Peniru Ulung


Beberapa waktu lalu saya membelikan mainan gitar plastik untuk anak saya yanag kedua, Syahnaz. Hanya mainan murah dan sederhana, hasil perbuaruanku di Golo, Pasar Baru. Berbentuk gitar tanpa senar dengan beberapa tombol warna-warni yang bias mengeluarkan bunyi-bunyian. Seperti  layaknya gitar, ada tali yang bias digunakan untuk dikalungkan di leher. Mainan ini termasuk salah satu favorit Syahnaz karena dia suka mencet-mencet. Remote AC, TV, DVD Player menjadi mainannya sehari-hari. Suatu pagi Syahnaz sedang memencet-mencet gitar kesayangannya itu. Suatu pagi, entah bagaimana caranya, Syahnaz memainkan tombol-tombol gitar itu dengan posisi tali mengalung pada lehernya. “Wah, dede kaya gitaris ya, hebat.” Komentarku melihat tingkah lucunya.
Tapi apa coba komentar sang kakak yang ada di sebelahnya?
 “Dede kaya tukang ngamen ya Mi?”
 Waks!Adiknya sendiri dibilang seperti tukang ngamen.
Anak-anak benar-benar polos, murni tanpa tendensi. Aku tahu Kaka tak bermaksud apa-apa dengan berkomentar seperti itu. Nalarnya untuk beropini baru sebatas apa yang biasa ia lihat dalam keseharian. Memang banyak pengamen yang hilir mudik lalu lalang di perumahan kami. Jika mereka menyambangi rumah kami, Kaka lah yang paling senang dan berteriak minta uang kecil untuk diberikan pada mereka. Disaat yang lain, Abi dengan seragam bea cukainya pun di bilang “Abi kaya polisi ya Mi pake baju Polisi, siap grap?!” Dan ketika dikatakan padanya kalau Abi bukan polisi, dia belum bisa menerimanya.
Yang membuatku agak malu adalah saat aku mengunjungi rumah temanku memakai kaos panjang warna abu-abu. Aku memang jarang sekali memakainya sehingga kadang suami ikut berbagi-pakai kaos itu. “Ummi, ko ummi pake baju Abi?” Komentarnya tanpa diminta. Berkali-kali kubilang bahwa ini adalah abu Ummi, dia tak percaya karena ia lebih sering melihat Abi memakainya.
Tadi malam saya juga disuguhi tingkah lucu Syahnaz yang baru Sembilan bulan. Abi menepuk-nepuk perutnya yang kembung karena masuk angin pasca pulang liburan family gathering di Ciawi. Melihat hal itu, dengan spontan si kecilku juga ikut menabuh-nabuh perutnya hingga menghasilkan bunyi khas perut kembung. Like father like daughter.
Lalu apa pelajaran apa yang bisa kita ambil dari hal-hal seperti  diatas? Anak-anak belajar dari kebiasaan. Output yang baik berasal dari input yang baik juga. Memang sudah sepantasnya kita sebagai orang tua untuk membiasakan mereka dengan hal-hal yang baik. Mata mereka, harus kita biasakan untuk melihat yang baik-baik. Telinga mereka, harus kita biasakan untuk mendengar yang baik-baik. Lidah mereka, harus kita biasakan untuk mengucapkan yang baik-baik. Tangan mereka, harus kita biasakan untuk melakukan yang baik-baik. Kaki mereka, harus kita biasakan untuk melangkah ke tempat yang baik-baik.
Wah, benar-benar sebuah PR yang tidak ringan bagi orang tua seperti saya. Bagaimana tidak, karena mendidik anak itu kan seperti melempar bola ke dinding. Bola jika dilempar ke dinding akan memantul kembali kepada si pelempar. Semakin keras kita melempar, semakin keras pula ia memantul. Tak mungkin kita bisa membiasakan anak-anak dengan hal-hal yang baik jika kita sebagai orang tua tidak terbiasa dengan yang baik-baik juga. Apa yang kita dengar, lihat, katakana dan lain-lain, apakah sudah baik? Mendidik anak memang tak bisa munafik. Kita adalah panutan mereka. Apa yang mereka tangkap dari kita, itulah yang akan mereka tiru.
Ya Allah, tuntunlah kami agar kami dapat mendidik diri dan anak-anak kami menjadi orang-orang yang sholeh. Ampunilah segala perbuatan kami, karena Engkaulah yang Maha Mengetahui segala perbuatan dan isi hati Kami.
Robbana hablana min azwajina wadzurriyatina qurrota a’yun waj’alna lil muttaqina imaman…