Beberapa waktu lalu saya membelikan mainan gitar plastik untuk
anak saya yanag kedua, Syahnaz. Hanya mainan murah dan sederhana, hasil
perbuaruanku di Golo, Pasar Baru. Berbentuk gitar tanpa senar dengan beberapa
tombol warna-warni yang bias mengeluarkan bunyi-bunyian. Seperti layaknya gitar, ada tali yang bias digunakan
untuk dikalungkan di leher. Mainan ini termasuk salah satu favorit Syahnaz
karena dia suka mencet-mencet. Remote AC, TV, DVD Player menjadi mainannya
sehari-hari. Suatu pagi Syahnaz sedang memencet-mencet gitar kesayangannya itu.
Suatu pagi, entah bagaimana caranya, Syahnaz memainkan tombol-tombol gitar itu
dengan posisi tali mengalung pada lehernya. “Wah, dede kaya gitaris ya, hebat.”
Komentarku melihat tingkah lucunya.
Tapi apa coba komentar sang kakak yang ada di sebelahnya?
“Dede kaya tukang
ngamen ya Mi?”
Waks!Adiknya sendiri
dibilang seperti tukang ngamen.
Anak-anak benar-benar polos, murni tanpa tendensi. Aku tahu
Kaka tak bermaksud apa-apa dengan berkomentar seperti itu. Nalarnya untuk
beropini baru sebatas apa yang biasa ia lihat dalam keseharian. Memang banyak
pengamen yang hilir mudik lalu lalang di perumahan kami. Jika mereka
menyambangi rumah kami, Kaka lah yang paling senang dan berteriak minta uang
kecil untuk diberikan pada mereka. Disaat yang lain, Abi dengan seragam bea
cukainya pun di bilang “Abi kaya polisi ya Mi pake baju Polisi, siap grap?!”
Dan ketika dikatakan padanya kalau Abi bukan polisi, dia belum bisa menerimanya.
Yang membuatku agak malu adalah saat aku mengunjungi rumah
temanku memakai kaos panjang warna abu-abu. Aku memang jarang sekali memakainya
sehingga kadang suami ikut berbagi-pakai kaos itu. “Ummi, ko ummi pake baju
Abi?” Komentarnya tanpa diminta. Berkali-kali kubilang bahwa ini adalah abu
Ummi, dia tak percaya karena ia lebih sering melihat Abi memakainya.
Tadi malam saya juga disuguhi tingkah lucu Syahnaz yang baru
Sembilan bulan. Abi menepuk-nepuk perutnya yang kembung karena masuk angin
pasca pulang liburan family gathering
di Ciawi. Melihat hal itu, dengan spontan si kecilku juga ikut menabuh-nabuh
perutnya hingga menghasilkan bunyi khas perut kembung. Like father like daughter.
Lalu apa pelajaran apa yang bisa kita ambil dari hal-hal
seperti diatas? Anak-anak belajar dari
kebiasaan. Output yang baik berasal dari input yang baik juga. Memang sudah
sepantasnya kita sebagai orang tua untuk membiasakan mereka dengan hal-hal yang
baik. Mata mereka, harus kita biasakan untuk melihat yang baik-baik. Telinga
mereka, harus kita biasakan untuk mendengar yang baik-baik. Lidah mereka, harus
kita biasakan untuk mengucapkan yang baik-baik. Tangan mereka, harus kita
biasakan untuk melakukan yang baik-baik. Kaki mereka, harus kita biasakan untuk
melangkah ke tempat yang baik-baik.
Wah, benar-benar sebuah PR yang tidak ringan bagi orang tua
seperti saya. Bagaimana tidak, karena mendidik anak itu kan seperti melempar
bola ke dinding. Bola jika dilempar ke dinding akan memantul kembali kepada si
pelempar. Semakin keras kita melempar, semakin keras pula ia memantul. Tak
mungkin kita bisa membiasakan anak-anak dengan hal-hal yang baik jika kita
sebagai orang tua tidak terbiasa dengan yang baik-baik juga. Apa yang kita
dengar, lihat, katakana dan lain-lain, apakah sudah baik? Mendidik anak memang
tak bisa munafik. Kita adalah panutan mereka. Apa yang mereka tangkap dari
kita, itulah yang akan mereka tiru.
Ya Allah, tuntunlah kami agar kami dapat mendidik diri dan
anak-anak kami menjadi orang-orang yang sholeh. Ampunilah segala perbuatan
kami, karena Engkaulah yang Maha Mengetahui segala perbuatan dan isi hati Kami.
Robbana hablana min azwajina wadzurriyatina qurrota a’yun
waj’alna lil muttaqina imaman…