Senin, 11 Juni 2012

(Bukan) Ibu Tiri


Sorot matanya teduh. Caranya memandang anak laki-laki di sampingnya penuh perhatian. Ia meminta anakku, ingin menggendongnya. Anakku menoleh ke arahku, seolah bertanya untuk memastikan bahawa yang menggondongnya adalah orang baik-baik yang penuh kasih sayang sekaligus meminta persetujuan. “Iya nak, Bude orang baik. Dia sangat sayang pada anak-anak.” Begitu kira-kira tatapan mataku berbicara anakku yang baru berumur sembilan bulan. Sambil menimang anakku dalam gendongannya ia menuturkan kisahnya.
Saya lebih dulu jatuh cinta pada anaknya, sebelum saya jatuh cinta padanya. Waktu itu ridho baru berumur tujuh tahun. Ibunya telah meninggal dalam sebuha kecelakaan lalu lintas sepulang dari kantor. Sang ayah datang ke rumah untuk menanyakan kesediaan saya untuk menjadi pendamping hidupnya. Sang anak yang dibawanya benar-benar menyentuh hatiku. Entah kenapa timbul naluri keibuanku. Anak ini masih sangat membutuhkan perhatian ibunya, begitu kata hatiku. Tanpa berpanjang lebar, saya katakan pada ayahnya, “saya tak menghendaki pacaran. Umur saya sudah terlalu tua untuk itu.” Saya tiga puluh lima tahun waktu itu. Dan akhirnya kami pun menikah.
Sebagaimana layaknya “ibu tiri”, saya juga mengalami konflik saat baru berumah tangga. Namun saya sangat beruntung, konflik itu hanya berlangsung tiga bulan. Anak-anak mulai bisa menerima saya. Mereka merasa saya bisa dijadikan teman bagi mereka. Saya mau mendengar dan bisa diajak bicara. Saya bukan musuh dalam rumah mereka. Saya adalah bagian dari keluarga mereka. Saya Ibu mereka. Mereka memanggil saya “Ibu”. Sungguh ini sebuah kehormatan bagi saya. Kebanggan.
Sudah delapan tahun kami menikah. Namun hingga usia saya yang lebih dari paruh baya ini, saya tak dikaruniai anak oleh Allah. Beraneka ragam cara telah kami tempuh. Medis dan Non medis, semuanya. Namun tak juga menampakkan hasil. Mungkin Allah punya rencana yang lebih baik dari apa yang saya inginkan. Lihatlah Ridho dan juga kakaknya, mereka begitu lekat pada saya, seolah-olah saya adalah ibu kandung mereka. Hampir dalam segala hal, seperti yang dilakukan oleh para Ibu saya juga berusaha melakukan banyak hal terbaik untuk mereka. Membagi kasih sayang dan perhatian adalah keharusan bagi saya sebagai Ibu mereka. Memasak, antar-jemput sekolah, mendampingi mereka belajar, mengambil rapor, merawat saat sakit dan lain-lain. Saya sangat bersyukur pada Allah atas segala hal yang dianugerahkannya pada saya. Saya dulu perawat, dan Alhamdulillah saya bisa merawat anak-anak suami saya. Sungguh benar-benar pengalaman adalah guru yang terbaik. Allah benar-benar Maha Adil mba…
Seperti dituturkan oleh seorang Ibu, dalam sebuah pesta barbeque..
*Dalam belaian kasih sayang Ibu tirinya, Ridho dan kakaknya berhasil mecapai prestasi akademis yang mengagumkan. Kakak Ridho kini adalah seorang mahasisi ITS sedangkan ridho pernah mengikuti olimpiade matematika di Manila, Filipina. Dalam waktu dekat ia akan mengikuti kompetisi matematika di Hongkong.