Jumat, 13 Juli 2012

Selamat Jalan Kang Ilyas...

Sudah lama aku ingin menuliskannya, namun aku tak jua menyempatkan diri. Hingga akhirnya pikiran ini mengusikku, membuat mataku tak mau terpejam sebelum menuangkannya.
Hari ini, Jumat 13 Juli 2012 suasana kantorku mendadak berubah. Kesenduan itu datang tiba-tiba. Ya, benar-benar datang dengan sendirinya tanpa diminta. Perasaan sendu, terharu, iba, sedih, diliputi rasa duka dan kehilangan seolah datang kembali. Perasaan itu datang dengan massiv dari masing-masing hati penghuni kantor ini bersamaan dengan datangnya seorang perempuan muda dengan seorang anak lelaki kecil dalam gendongannya. Perempuan itu tak lain adalah janda almarhum kang Ilyas yang telah berpulang dua bulan yang lalu, tepatnya tanggal 10 Mei 2012.
Aku memang sedang tak berada di kantor saat peristiwa duka itu menyelimuti keluarga besar kantor kami. Aku sedang berada dalam sebuah taksi dalam perjalanan pulang dari ujian dinas. Aku hanya mendapat berita duka itu dari seorang rekan terdekatku di kantor. SMS itu benar-benar membuatku tersentak. Sedih, kaget, kehilangan, dan segala jenis perasaan semacam itu meliputiku dengan segera. Aku sedih mengingat Kang Ilyas meninggal dalam usia yang begitu muda, 28 tahun, kurang lebih sama dengan usiaku (ya Robb, aku belum siap untuk Kau panggil). Ia meninggalkan Teh Sri, istri yang juga muda usianya yang telah dinikahinya kurang lebih lima tahun lalu. Ia juga meninggalkan seorang bocah laki-laki yang baru berusia satu tahun lebih. Cukup lama mereka menikah dan menantikan kehadiran si kecil. Tapi saat Allah melengkapkan kebahagiaan rumah tangga mereka, saat si bocah sedang lucu-lucunya, sang ayah harus pergi meninggalkannya. Innalillahi, wainna ilaihi rojiún. Segala sesuatu berasal dari Allah dan kepadaNyalah segala sesuatu itu akan kembali. Ya, kami semua, seperti Kang Ilyas akan pergi untuk kembali padaMu ya Allah...itu pasti, hanya soal waktu.
Teh Sri hari ini datang ke kantor untuk mengambil sesuatu yang mungkin berkaitan dengan hak almarhum suaminya. Entah gaji, santunan atau apa aku tak tahu. Yang jelas kedatangannya kembali mengaduk-aduk perasaan kami, terutama kaum Ibu di kantor. Betapa kami ikut merasakan apa yang Teh Sri rasakan, hingga air mata pun menerobos pertahanan kami meleleh membasahi pipi. Padahal kami bertekad untuk tidak memperlihatkan kesedihan kami, agar tak menambah bebannya. Namun kami cuma perempuan yang perasaannya berada di depan logika. Air mata pun mengalir menjadi bahasa tanpa ada aba-aba.
Tak banyak yang kami katakan pada Teh Sri. Selain kunjungannya yang sangat singkat, kami pun tak ingin membuatnya bersedih. Hanya bertanya apa kabarnya dan juga sang putra. Dimana ia tinggal sekarang. Apa aktivitasnya sementara ini. Kapan mau ambil barang yang masih tersisa di ruang bawah menara masjiId, tempat mereka tinggal bersama dulu. Itu saja. Sebisa mungkin kami ingin membantunya menghadapi duka yang ia alami. Sepeser dua peser kami sodorkan untuknya sebagai bentuk empati yang semoga bisa sedikit menghibur hatinya. Bahkan ada teman yang secara spontan membeli baju anak yang aku jual untuk diberikan kepada Ilham, si bocah kecil yang kini telah menjadi yatim itu.
Ilham, sang bocah satu tahun itu mewarisi wajah ayahnya. Sorot matanya mengingatkan kami pada almarhum Bang Togar-begitu ia biasa dipanggil-hey, tapi Kang Ilyas kan asli Sunda tulen seratus persen. “Kalau kangen Ilyas ya liat aja wajah si Ilham. Mirip banget dia sama bapaknya.” Begitu komentar seorang teman. “Iya,untung ada gantinya.” Jawab sang Ibu. Subhanallah, bocah kecil itu telah menjadi ILHAM bagi kedua orang tuanya. Aku  pernah mendengar, jika Allah telah mengambil sesuatu dari hambaNya, maka seharusnya kita berdoa semoga Allah memberi ganti yang lebih baik. Semoga ia adalah pengganti yang lebih baik dari yang telah pergi. Ialah pewaris tunggal, keturunan sang ayah dengan segala keluhuran budinya. Senyum, kerja keras, keramahan, suka menolong dengan segera tanpa pamrih, dan segala sifat baik almarhum semoga ia warisi semuanya. Bahkan lebih.
Masih segar dalam ingatanku kenangan-kenangan tentangnya. Sering kulihat ia termenung di pojok ruangan sub bagian umum duduk di depan gudang ATK, tempat kami memerah ASI saat itu. Betapa aku termasuk orang yang menerima banyak pertolongan dari Almarhum Kang Ilyas. Fotokopi dan mengirim surat undangan ke satker, bon ATK mulai pita printer, tinta, kertas, pena, pensil yang bon ini-itu lainnya, Kang Ilyas lah yang paling cepat dimintai tolong. Tak lupa dengan senyum khasnya yang bilang “sama-sama Mba Anna”. Urusan mengantar ke Stasiun Tanah Abang, dialah yang paling mudah mengatakan iya. Dengan motor dinas atau motor pinjaman dari teman, ia akan segera meluncur mengantarku ke stasiun Tanah Abang. Pernah juga ia mengantar dengan mobil dinas dengan ditemani teman kantorku yang bisa menyetir tentunya. Biasanya aku akan memberikan uang sekedar pengganti ongkos ojek padanya saat aku sampai di stasiun dan uang itu akan Kang Ilyas terima sambil tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Namun dua hari terakhir di akhir tahun itu ia langsung “ngacir” tak mau menerima pemberianku. Aku sungguh berhutang budi padanya. Mungkin saat itu Kang Ilyas sedang menabung kebaikan, hingga ia akan menerimanya kelak di surga nanti.
Selamat jalan Kang Ilyas...Doa kami mengiringi, semoga Allah melapangkan kubur bagimu atas segala kebaikanmu. Semoga Allah memberikan kesabaran dan jalan keluar terbaik bagi istri dan putramu. Amin...